Rabu, 25 Februari 2009

HARAM ????

HARAM....
iihhh....kata yang menyeramkan
takut...merinding...menghindar..

dulu...
HARAM ditujukan pada sesuatu yang sudah baku
tersirat dan tersurat di alquran dan hadist
artinya..
kata HARAM adalah HAK ALLAH

kini...
daftar HARAM semakin panjang
rokok, bahkan GOLPUT...????
dan anehnya..???!!!
HARAM hanya pada keadaan tertentu
ada apa ini ???

saat ini...
otak berputar, pikiran merayap, berjalan dan berlari kencang
mencerna huruf demi huruf
H...A...R...A...M...
diakhir perjalanantimbul tanya ???
apakah HARAM bukan lagi sepenuhnya HAK ALLAH ????
sudah sepantasnyakah MUI mengambil hak itu ????

please...
bantu aku menemukan jawabannya...

Minggu, 22 Februari 2009

PROSPEK USAHATANI UBI KAYU

I. PENDAHULUAN
Sejak beberapa tahun terakhir ini, Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional. Sementara itu pertambahan penduduk telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri, yang berimbas pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan bakar, sehingga untuk memenuhinya Indonesia harus import. Besarnya ketergantungan pada bahan bakar import memberatkan pemerintah, dan ketika harga minyak dunia terus meningkat maka akan semakin berat beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah, dan ini berakibat naiknya harga bahan bakar minyak.
Melihat kodisi ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber-sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Walaupun kebijakan ini menekankan penggunaan batubara dan gas sebagai pengganti bahan bakar minyak, kebijakan tersebut juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak. Keseriusan pemerintah untuk mengembangkan bahan bakar nabati dibuktikan dengan menerbitkan INPRES No. 1 tahun 2006 tanggal 25 Juni 2006 tentang penyediaan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai sumber bahan bakar (Martono dan Sasongko, 2007).
Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi bahan bakar alternatif diantaranya kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kapuk yang bisa dijadikan biodiesel untuk bahan bakar alternatif pengganti solar, dan tebu, jagung, singkong atau ubi kayu serta sagu yang bisa dijadikan bioethanol untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium. Bahan baku biofuel yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia adalah ubi kayu.
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan bahan makanan penting di Indonesia setelah padi dan jagung. Lebih kurang 60% dari produksi ubi kayu di Indonesia digunakan sebagai bahan makanan, sedangkan 32% digunakan sebagai bahan industri dalam negeri, dan 8% diekspor dalam bentuk gaplek.
Sebagai bahan makanan, jika ditinjau dari kalori yang dihasilkan per satuan luas tanah, ubi kayu menghasilkan kalori lebih tinggi dibandingkan dengan padi dan jagung. Sedangkan apabila ditinjau dari kalori yang dihasilkan per satuan waktu, jagung lebih tinggi hasil kalorinya dibandingkan padi dan ubi kayu.
Di bidang industri, ubi kayu menghasilkan bioethanol, yang dapat dijadikan bahan bakar nabati, karena memiliki kandungan oksigen lebih tinggi sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi, dan ramah lingkungan karena mengandung emisi gas karbon monoksida lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar minyak (Anonim, 2007).
Tabel 1. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi
Jenis Tumbuhan
Produksi Minyak (Liter per Ha)
Ekivalen Energi(kWh per Ha)
Elaeis guineensis (kelapa sawit)
3.600-4.000
33.900-37.700
Jatropha curcas (jarak pagar)
2.100-2.800
19.800-26.400
Aleurites fordii (biji kemiri)
1.800-2.700
17.000-25.500
Saccharum officinarum (tebu)
2.450
16.000
Ricinus communis (jarak kepyar)
1.200-2.000
11.300-18.900
Manihot esculenta (ubi kayu)
1.020
6.600

Tabel 2. Konvensi Biomasa menjadi Bioethanol
Biomasa
(kg)
Kandungan gula
(Kg)
Jumlah hasil bioethanol (Liter)
Biomasa :Bioethanol
Ubi kayu 1.000
250-300
166,6
6,5 : 1
Ubi jalar 1.000
150-200
125
8 : 1
Jagung 1.000
600-700
400
2,5 : 1
Sagu 1.000
120-160
90
12 : 1
Tetes 1.000
500
250
4 : 1


Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13.300.000 ton) setelah Brazil (25.554.000 ton), dan Thailand (13.500.000 ton), disusul negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), dan India (6.500.000 ton) dari total produksi dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun (Bigcassava.com, 2007).
Berdasarkan kontribusi terhadap produksi nasional terdapat sepuluh propinsi utama penghasil singkong yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Sumatera Selatan dan Yogyakarta yang menyumbang sebesar 89,47 % dari produksi nasional, sedangkan dari propinsi lainnya sekitar 11-12 % (Agrica, 2007).
Potensi pengembangan ubi kayu di Indonesia masih sangat luas mengingat lahan yang tersedia untuk budidaya ubi kayu cukup luas. Dalam upaya penyediaan bahan baku yang besar dan kontinu untuk bioethanol, usaha tani ubi kayu perlu dilakukan dalam bentuk perkebunan atau pertanaman monokultur.

II. KENDALA DALAM USAHA TANI UBI KAYU
Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah produktivitas yang masih rendah yaitu 12,2 ton/ha (Agrica, 2007). Hal ini disebabkan karena ubi kayu hanya merupakan tanaman sela atau tumpangsari yang hasilnya dianggap sebagai hasil sampingan. Disamping itu, penggunaan varietas lokal dan pemeliharaan yang apa adanya menyebabkan hasil yang diperoleh mempunyai nilai ekonomis yang sangat rendah.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas ubi kayu, maka perlu masukan teknologi yang dapat meningkatkan hasil per tanaman. Teknologi yang memungkinkan untuk di introduksi dalam rangka meningkatkan hasil adalah dengan menggunakan klon-klon unggul seperti Adira, Malang, Darul Hidayah dan teknologi mukibat.
Ubi kayu mukibat merupakan tanaman hasil sambung atau grafting antara ubi karet sebagai batang atas dan ubi biasa sebagai batang bawah. Pemilihan ubi karet sebagai batang atas dengan dasar bahwa ubi karet memiliki daun besar, dan warna hijau tua, sehingga tanaman mempunyai luas daun lebih luas dan laju fotosintesis lebih besar. Karakteristik daun ubi karet dengan daun besar dan hijau diharapkan dapat memanfaatkan radiasi sinar matahari secara efisien, sehingga laju pertumbuhan meningkat, yang berkorelasi dengan peningkatan laju akumulasi fotosintat pada bagian penyimpanan.
Hasil penelitian Ahit et al., (1981) menunjukan bahwa penggunaan teknologi mukibat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih tinggi yaitu tanaman memiliki stuktur tanaman lebih tinggi, diameter akar yang lebat dengan bobot yang lebih tinggi serta LAI yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman ubi kayu biasa. De Bruijn dan Guritno (1990) menyatakan bahwa peningkatan produksi ubi kayu sistem mukibat meningkat 30% dan bahkan dapat mencapai lebih dari 100 % tergantung pada kondisi wilayah penanaman.
Kendala berikutnya yang juga cukup penting adalah masalah tata niaga yang selalu dipengaruhi oleh fluktuasi harga. Hal ini disebabkan ubi kayu memiliki daya simpan yang rendah, sementara kebutuhan keluarga sangat mendesak, sehingga ubi kayu dijual dengan harga murah. Kondisi ini membuat petani mengalihkan perhatian dan usaha taninya ke komoditi lain yang lebih menjanjikan.
Berdasarkan keadaan yang ada, maka salah satu alternatif untuk meng antisipasi masalah tersebut di atas, adalah dengan upaya mengadakan kerjasama antara para petani ubi kayu dengan pengguna/pemakai ubi kayu (baik dengan kapasitas pabrik yang cukup besar, maupun dengan kapasitas pabrik yang sedang), sehingga dapat diciptakan bentuk kerjasama
PT. Sampurna Bioenergi berencana membuat pabrik ethanol di Kabupaten Sambas, dan untuk itu, selain kebun inti yang dimiliki oleh perusahaan, juga diperlukan kebun-kebun plasma untuk memenuhi kebutuhan pabrik. Adanya pabrik ethanol di daerah ini seharusnya memotivasi petani untuk melakukan usaha tani ubi kayu karena masalah pemasaran yang merupakan masalah klasik dapat teratasi.

III. BUDIDAYA UBI KAYU
Syarat Tumbuh
Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di berbagai lingkungan agroklimat tropis, walaupun tingkat produksinya akan bervariasi menurut tingkat kesuburan dan ketersediaan air tanah. Ubi kayu merupakan tanaman yang tahan di lahan kering, sedangkan pada lahan-lahan dengan tingkat kesuburan tinggi, akan menyerap unsur hara yang banyak.
Produksi optimal akan dapat dicapai bila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, berada pada ketinggian sampai dengan 800 m dpl, tanah gembur, dan curah hujan di antara 750 - 2.500 mm/tahun dengan bulan kering sekitar 6 bulan.
Pengolahan Tanah dan Penanaman
Pengolahan tanah perlu dilakukan agar tanah menjadi gembur, sehingga perakaran/umbi akan tumbuh dengan optimal. Setelah lahan diolah dengan sempurna, bibit berupa stek batang dengan panjang kurang lebih 30 cm, ditanam dengan jarak tanam sekitar 100 x 100 cm, sehingga jumlah bibit yang harus disediakan untuk luasan 1 Ha dan untuk penyulaman serta seleksi mencapai sekitar 11.000 batang.
Waktu penanaman dilakukan pada saat kelembaban tanah dalam keadaan mencapai kapasitas lapang, yaitu biasanya pada saat musim hujan, karena selama masa fase pertumbuhan tersebut ubi kayu memerlukan air yang cukup.

Pemeliharaan Tanaman
Penyulaman dilakukan pada umur 2 minggu setelah tanam. Apabila bibit yang digunakan cukup baik, tanaman yang perlu disulam relatif sedikit, biasanya kurang dari 5%. Waktu penyulaman yang tepat, akan memberikan pertumbuhan tanaman yang seragam.
Penyiangan paling banyak dilakukan 2 kali, terutama pada saat tajuk dari tanaman belum saling menutup. Penyiangan pertama dilakukan pada umur kurang lebih sebulan setelah tanam, dan penyiangan kedua dilakukan dua bulan kemudian.
Pemupukan pertama dilakukan setelah penyiangan pertama bersama dengan mengadakan pembumbunan. Pemupukan kedua dilakukan pada waktu setelah penyiangan kedua, yang juga terus diikuti dengan pembumbunan. Dosis pemupukan adalah urea: 200 kg/ha, SP 36: 100 kg/ha dan KCl: 200 kg/ha.
Kegiatan pemeliharaan yang lain yaitu pengendalian hama dan penyakit, namun sampai dengan saat ini khusus pada tanaman ubi kayu belum terdapat serangan hama dan penyakit yang serius, sehingga dapat dikatakan tidak diperlukan pemberantasan hama dan penyakit.

Panen
Panen dilakukan dengan mencabut umbi, jika dalam mencabut dirasakan susah, maka sebelumnya tanah disekitar batang ubi kayu digali dengan cangkul, baru setelah itu batang dicabut sampai umbinya terangkat semuanya. Umbi yang telah dicabut dipisahkan dari batangnya, serta bagian tanah yang menempel dibersihkan.
Ubi kayu yang dipanen pada umur 10 - 14 bulan setelah tanam. Kurang dari 10 bulan rendemen kadar patinya rendah, begitu juga bila lebih dari 14 bulan akan mengayu dan kadar patinya menurun pula. Hasil rata-rata per ha, dengan asumsi tiap batang menghasilkan antara 2,5 - 4,0 kg, akan diperoleh hasil bersih antara 30 ton - 40 ton per ha umbi basah.

IV. ANALISIS USAHA TANI UBI KAYU

Perkiraan analisis usaha tani ubi kayu seluas 1 hektar, dengan pola monokultur dalam satu musim tanam, kurang lebih 8 bulan, dengan jarak tanam 100 x 100 cm :
A. Biaya Produksi
1. Sewa lahan per musim = Rp 1.500.000,-
2. Bibit (11.000 setek @ Rp 100,-) = Rp 1.100.000,-
3. Pupuk : Urea: 200 kg @ Rp 3.000,- = Rp 600.000,-
TSP : 100 kg @ Rp 6.000,- = Rp 600.000,-
KCl : 200 kg @ Rp 6.000,- = Rp 1.200.000,-
4. Pajak dan peralatan = Rp 500.000,-
5. Tenaga kerja
- Penyambungan (11.000 bibit x Rp 100,-) = Rp 1.100.000,-
- Pengolahan lahan (70 HOK @ Rp 30.000,-) = Rp 2.100.000,-
- Penanaman (15 HOK @ Rp. 30.000,-) = Rp 450.000,-
- Pemupukan (35 HOK @ Rp. 30.000,-) = Rp 1.050.000,-
- Penyiangan dan pembubunan (40 HOK @ Rp. 30.000,-) = Rp 1.200.000,-
- Panen dan pasca panen (40 HOK @ Rp 30.000,-) = Rp 1.200.000,-
6. Jumlah biaya produksi = Rp 12.600.000 ,-
B. Pendapatan (30.000 kg @ Rp 1.000,-) = Rp 30.000.000,-
C. Keuntungan (A – B) = Rp 17.400.000,-
D. Kelayakan usaha (Output/Input) = 2.38

V. PENUTUP

1. Usaha tani ubi kayu sangat berpotensi untuk dikembangkan, terutama di daerah Kabupaten Sambas, karena akan didirikan pabrik ethanol yang berbahan dasar ubi kayu.
2. Harus ada kerjasama antara petani dengan perusahaan pabrik ethanol, baik dalam hal tata niaga, permodalan, pembinaan dan pendampingan.
3. Kegiatan budidaya secara monokultur dan rakusnya tanaman ubi kayu akan unsur hara menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah, oleh sebab itu perlu ada upaya untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah tersebut dengan memberikan pupuk organik.

DAFTAR PUSTAKA

Agrica. 2007. Bensin Singkong. Lembaga Pers Mahasiswa AGRICA Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto, Edisi XIX/Tahun XXI September 2007

Ahit, O.P., S.E. Abit and M.B. Posas. Growth and Development of Cassava Under The Traditional and The Mukibat System of Plantin;. Annal of Tropical Research 3(3): 187-198.

Anonim. 2007. Saatnya Eksplorasi Bahan Bakar Hayati.
http://www.bppt.go.id

Bigcassava.com. 2007. Proyek Pengembangan Budi Daya Singkong Varietas Darul Hidayah sebagai Upaya Meningkatkan Tarap Kehidupan Ekonomi Petani, Sekaligus Mengintip Peluang Pengembangan Bahan Baku Biofuel.
http://www.bigcassava.com

De Bruijn, G.H. and Bambang Guritno. 1990. Farmer Experimentation With Cassava Planting in Indonesia. Departemen of Tropical Crop Science. Wageningen Agriculture University, Netherlands

Martono, B. dan Sasongko. 2007. Prospek Pengembangan Ubi Kayu sebagai Bahan
Baku Bioethanol.
http://www.diy.go.id

Sutrisno.wordpress.com. 2007. Ubi Kayu. http://sutrisno.wordpress.com
UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI GUREM

Oleh: Henny Sulistyowati

Pembangunan pertanian di Indonesia seharusnya tidak hanya ditujukan pada upaya peningkatan produksi saja, tetapi juga harus mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, khususnya petani gurem. Hampir sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil yang hanya memiliki lahan rata-rata setengah hektar saja, bahkan ada yang hanya sebagai pekerja tani dan tidak memiliki lahan. Jika dilihat dari latar belakang pendidikan, petani Indonesia kebanyakan hanya lulusan SD atau bahkan ada yang tidak lulus SD atau tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali (buta huruf). Hal ini menjadi masalah besar dalam pembangunan pertanian di Indonesia karena sumber daya manusia yang terjun langsung di dunia pertanian masih sangat rendah kemampuan dan keterampilannya di bidang pertanian.
Secara nasional, jumlah petani gurem meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003, dengan rata-rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4 persen per tahun. Hal ini menunjukkan terjadinya marjinalisasi pertanian sebagai akibat langsung dari kepadatan penduduk. Sementara itu, luas lahan semakin berkurang dan perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian terbatas.
Distribusi rumah tangga petani gurem di Indonesia tidak menyebar rata, tetapi sangat tergantung pada banyaknya rumah tangga petani di daerah tersebut. Jawa Timur merupakan daerah yang persentase petani guremnya lebih tinggi dibanding daerah lain, yaitu 3,4 juta rumah tangga atau berkisar 25,14 % dari total rumah tangga petani gurem di Indonesia. Sedangkan untuk daerah di luar pulau Jawa, persentase petani gurem relatif kecil, hanya berkisar kurang lebih 3 %.
Permasalahan yang dihadapi oleh rumah tangga petani gurem, adalah pemilikan lahan yang sempit, sehingga apapun yang dihasilkan dari lahan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada umumnya lahan yang dimiliki oleh petani ini adalah lahan warisan turun temurun, yang diusahakan seadanya saja karena ketiadaan modal dan ketrampilan atau teknologi, serta menggunakan tenaga kerja keluarga. Bahkan kebanyakan petani menjadikan usaha taninya sebagai pekerjaan sampingan, ini menunjukkan mental petani yang kurang baik dalam menjalankan usaha taninya. Hal tersebut diatas menyebabkan tingkat kesejahteraan petani gurem sangat rendah sehingga terjerat pada kemiskinan yang cendrung permanen.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani gurem, adalah:
1. Mengubah pola pikir petani dan membangun mental petani yang semula hanya pasrah
dan mengusahakan lahannya sebagai pekerjaan sampingan, menjadi petani yang memiliki jiwa bisnis. Peran penyuluh pertanian sangat penting dalam hal ini, yaitu memberikan penyuluhan tentang teknologi tepat guna, mulai dari budidaya sampai penanganan pasca panen, melakukan fungsi pendampingan dan pembinaan terhadap petani sehingga pola pikir petani yang tadinya sangat tradisional menjadi lebih progresif dan terpacu untuk memajukan usaha taninya.
2. Mengusahakan usaha taninya secara kolektif atau berkelompok agar lebih mudah dalam mendapatkan modal melalui kredit yang disediakan oleh pemerintah. Peran pemerintah dalam hal ini adalah memberikan kemudahan pada kelompok tani tersebut dalam mendapatkan kredit lunak, sehingga dengan modal yang ada petani dapat menjalankan usaha taninya dengan sungguh-sungguh.
3. Pembangunan infra struktur, kepastian harga dan pasar dari komoditi yang diusahakan juga merupakan hal penting dalam upaya meningkatan kesejahteraan petani. Diharapkan secara bertahap pemerintah dapat membangun infra struktur sampai ke desa-desa sehingga petani dapat mengangkut hasil panennya. Penetapan harga dasar untuk komoditi pangan juga perlu menjadi perhatian pemerintah, disamping adanya pasar yang pasti untuk petani menjual hasil panennya.
Upaya-upaya diatas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani gurem sehingga rumah tangga petani di Indonesia menjadi makmur sejahtera dan dapat mencerminkan bahwa Indonesia adalah negara agraris maju. Semoga.














UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KEDELAI
DI INDONESIA

Kedelai termasuk komoditas pangan penting di Indonesia. Produk pangan berbahan dasar kedelai seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap sudah menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat, dan terbukti memiliki nilai gizi yang baik terutama kandungan protein yang cukup tinggi, serta harga yang relatif murah sehingga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Awal tahun 2008, rakyat Indonesia dikejutkan dengan tingginya harga kedelai di dalam negeri, yang semula hanya berkisar Rp 3500,- menjadi Rp 7500,- per kilogram. Hal ini disebabkan naiknya harga kedelai di pasar dunia yang tentu saja akan mengguncang harga kedelai di dalam negeri karena kurang lebih 60% kebutuhan kedelai Indonesia diimpor dari luar. Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini mencapai 2,2 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru mampu memenuhi kebutuhan kedelai 35- 40%. Rata-rata produktivitas nasional kedelai saat ini 1,3 ton/ha dengan kisaran 0,6-2,0 ton/ha di tingkat petani, sedangkan di tingkat penelitian sebesar 1,7-3,2 ton/ha, bergantung pada kondisi lahan dan teknologi yang diterapkan.
Rendahnya produksi kedelai dalam negeri disebabkan karena berkurangnya areal penanaman kedelai. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian, luas lahan penanaman kedelai pada tahun 2005 sebesar 621.541 hektar dengan produksi sebesar 808.353 ton. Tahun 2006, luas lahan menurun menjadi 580.534 hektar dan produksi pun menurun menjadi sebesar 747.611 ton. Data terbaru hingga September 2007, luas tanam kedelai sebesar 464.427 hektar dan produksi hanya sebesar 608.263 ton. Padahal target pemerintah terhadap luas tanam kedelai di tahun 2007 adalah sebesar 740.740 hektar dengan produksi kedelai sebesar 950.000 ton. Akibatnya, untuk memenuhi konsumsi kedelai di tahun 2007 sebagai bahan baku dari tahu, tempe, dan susu kedelai sebesar 1,9 juta ton, pemerintah masih harus mengimpor sebesar 1,3 juta ton kedelai.
Penyebab berkurangnya areal tanam kedelai antara lain adalah karena harga yang tidak memadai bagi petani. Petani membeli benih kedelai dengan harga lebih dari Rp 6.000/kg, tetapi giliran mereka menjual hasil panennya, hanya dihargai tak lebih dari Rp 3.000/kg, padahal untuk memperoleh keuntungan yang wajar paling tidak harganya harus Rp 4.500/kg. Keengganan para petani menanam kedelai tersebut membuat angka produksi dan konsumsi kedelai nasional tidak seimbang. Untuk mengatasi ketidak-seimbangan antara produksi dan konsumsi kedelai ini, pemerintah dengan kebijakan pasar bebasnya, pada tahun 1999 mulai membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk. Saat itu pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani semakin tertekan, petani banyak yang merugi,sehingga kebijakan tersebut membuat petani semakin berpaling dari budidaya kedelai.
Berdasarkan uraian diatas terlihat jelas bahwa peran pemerintah sangat penting dalam peningkatan produktivitas kedelai. Solusi jangka pendek yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menstabilkan harga dengan menetapkan harga dasar kedelai sehingga petani tidak ragu-ragu untuk menanam kedelai dan yakin hasilnya akan memberi keuntungan. Sedangkan solusi jangka panjang adalah swa sembada kedelai. Untuk mencapai swa sembada kedelai yang harus dilakukan adalah:
1. Membangun infrastruktur di pedesaan. Saat ini kondisi sarana irigasi seperti waduk, saluran
utama, saluran skunder dan tersier, serta akses jalan produksi usaha tani, sebagian besar
dalam keadaan rusak parah. Pembangunan dan rehabilitasi sarana infrastruktur itu harus
menjadi prioritas utama.
2. Memperluas dan mempermudah akses kredit pada petani.
3. Pemenuhan berbagai sarana produksi yang dibutuhkan oleh petani, seperti benih, pupuk,
obat-obatan, dan alat mesin pertanian. Pemenuhan sarana produksi tersebut harus tepat
dalam hal waktu, jenis, jumlah, harga dan kualitas.
4. Pengembangan riset dan teknologi pertanian dari hulu hingga hilir untuk pencapaian kuantitas
dan kualitas produksi yang lebih baik.
5. Memberikan perlindungan pasar kepada petani. Harga jual yang wajar terhadap hasil panen
merupakan insentif yang berpengaruh paling signifikan terhadap kegairahan petani untuk
menanam komoditas tertentu.
6. Memberikan penyuluhan pada petani sehingga pengetahuan dan kesadarannya tentang
pentingnya teknologi meningkat.
Upaya-upaya diatas diharapkan dapat meningkatkan kemauan petani menanam kedelai sehingga produktivitas kedelai meningkat dan tercapai swa sembada kedelai. Jika swa sembada kedelai sudah tercapai maka tidak perlu lagi impor kedelai dari pasar dunia.