Minggu, 22 Februari 2009

PROSPEK USAHATANI UBI KAYU

I. PENDAHULUAN
Sejak beberapa tahun terakhir ini, Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional. Sementara itu pertambahan penduduk telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri, yang berimbas pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan bakar, sehingga untuk memenuhinya Indonesia harus import. Besarnya ketergantungan pada bahan bakar import memberatkan pemerintah, dan ketika harga minyak dunia terus meningkat maka akan semakin berat beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah, dan ini berakibat naiknya harga bahan bakar minyak.
Melihat kodisi ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber-sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Walaupun kebijakan ini menekankan penggunaan batubara dan gas sebagai pengganti bahan bakar minyak, kebijakan tersebut juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak. Keseriusan pemerintah untuk mengembangkan bahan bakar nabati dibuktikan dengan menerbitkan INPRES No. 1 tahun 2006 tanggal 25 Juni 2006 tentang penyediaan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai sumber bahan bakar (Martono dan Sasongko, 2007).
Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi bahan bakar alternatif diantaranya kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kapuk yang bisa dijadikan biodiesel untuk bahan bakar alternatif pengganti solar, dan tebu, jagung, singkong atau ubi kayu serta sagu yang bisa dijadikan bioethanol untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium. Bahan baku biofuel yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia adalah ubi kayu.
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan bahan makanan penting di Indonesia setelah padi dan jagung. Lebih kurang 60% dari produksi ubi kayu di Indonesia digunakan sebagai bahan makanan, sedangkan 32% digunakan sebagai bahan industri dalam negeri, dan 8% diekspor dalam bentuk gaplek.
Sebagai bahan makanan, jika ditinjau dari kalori yang dihasilkan per satuan luas tanah, ubi kayu menghasilkan kalori lebih tinggi dibandingkan dengan padi dan jagung. Sedangkan apabila ditinjau dari kalori yang dihasilkan per satuan waktu, jagung lebih tinggi hasil kalorinya dibandingkan padi dan ubi kayu.
Di bidang industri, ubi kayu menghasilkan bioethanol, yang dapat dijadikan bahan bakar nabati, karena memiliki kandungan oksigen lebih tinggi sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi, dan ramah lingkungan karena mengandung emisi gas karbon monoksida lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar minyak (Anonim, 2007).
Tabel 1. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi
Jenis Tumbuhan
Produksi Minyak (Liter per Ha)
Ekivalen Energi(kWh per Ha)
Elaeis guineensis (kelapa sawit)
3.600-4.000
33.900-37.700
Jatropha curcas (jarak pagar)
2.100-2.800
19.800-26.400
Aleurites fordii (biji kemiri)
1.800-2.700
17.000-25.500
Saccharum officinarum (tebu)
2.450
16.000
Ricinus communis (jarak kepyar)
1.200-2.000
11.300-18.900
Manihot esculenta (ubi kayu)
1.020
6.600

Tabel 2. Konvensi Biomasa menjadi Bioethanol
Biomasa
(kg)
Kandungan gula
(Kg)
Jumlah hasil bioethanol (Liter)
Biomasa :Bioethanol
Ubi kayu 1.000
250-300
166,6
6,5 : 1
Ubi jalar 1.000
150-200
125
8 : 1
Jagung 1.000
600-700
400
2,5 : 1
Sagu 1.000
120-160
90
12 : 1
Tetes 1.000
500
250
4 : 1


Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13.300.000 ton) setelah Brazil (25.554.000 ton), dan Thailand (13.500.000 ton), disusul negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), dan India (6.500.000 ton) dari total produksi dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun (Bigcassava.com, 2007).
Berdasarkan kontribusi terhadap produksi nasional terdapat sepuluh propinsi utama penghasil singkong yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Sumatera Selatan dan Yogyakarta yang menyumbang sebesar 89,47 % dari produksi nasional, sedangkan dari propinsi lainnya sekitar 11-12 % (Agrica, 2007).
Potensi pengembangan ubi kayu di Indonesia masih sangat luas mengingat lahan yang tersedia untuk budidaya ubi kayu cukup luas. Dalam upaya penyediaan bahan baku yang besar dan kontinu untuk bioethanol, usaha tani ubi kayu perlu dilakukan dalam bentuk perkebunan atau pertanaman monokultur.

II. KENDALA DALAM USAHA TANI UBI KAYU
Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah produktivitas yang masih rendah yaitu 12,2 ton/ha (Agrica, 2007). Hal ini disebabkan karena ubi kayu hanya merupakan tanaman sela atau tumpangsari yang hasilnya dianggap sebagai hasil sampingan. Disamping itu, penggunaan varietas lokal dan pemeliharaan yang apa adanya menyebabkan hasil yang diperoleh mempunyai nilai ekonomis yang sangat rendah.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas ubi kayu, maka perlu masukan teknologi yang dapat meningkatkan hasil per tanaman. Teknologi yang memungkinkan untuk di introduksi dalam rangka meningkatkan hasil adalah dengan menggunakan klon-klon unggul seperti Adira, Malang, Darul Hidayah dan teknologi mukibat.
Ubi kayu mukibat merupakan tanaman hasil sambung atau grafting antara ubi karet sebagai batang atas dan ubi biasa sebagai batang bawah. Pemilihan ubi karet sebagai batang atas dengan dasar bahwa ubi karet memiliki daun besar, dan warna hijau tua, sehingga tanaman mempunyai luas daun lebih luas dan laju fotosintesis lebih besar. Karakteristik daun ubi karet dengan daun besar dan hijau diharapkan dapat memanfaatkan radiasi sinar matahari secara efisien, sehingga laju pertumbuhan meningkat, yang berkorelasi dengan peningkatan laju akumulasi fotosintat pada bagian penyimpanan.
Hasil penelitian Ahit et al., (1981) menunjukan bahwa penggunaan teknologi mukibat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih tinggi yaitu tanaman memiliki stuktur tanaman lebih tinggi, diameter akar yang lebat dengan bobot yang lebih tinggi serta LAI yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman ubi kayu biasa. De Bruijn dan Guritno (1990) menyatakan bahwa peningkatan produksi ubi kayu sistem mukibat meningkat 30% dan bahkan dapat mencapai lebih dari 100 % tergantung pada kondisi wilayah penanaman.
Kendala berikutnya yang juga cukup penting adalah masalah tata niaga yang selalu dipengaruhi oleh fluktuasi harga. Hal ini disebabkan ubi kayu memiliki daya simpan yang rendah, sementara kebutuhan keluarga sangat mendesak, sehingga ubi kayu dijual dengan harga murah. Kondisi ini membuat petani mengalihkan perhatian dan usaha taninya ke komoditi lain yang lebih menjanjikan.
Berdasarkan keadaan yang ada, maka salah satu alternatif untuk meng antisipasi masalah tersebut di atas, adalah dengan upaya mengadakan kerjasama antara para petani ubi kayu dengan pengguna/pemakai ubi kayu (baik dengan kapasitas pabrik yang cukup besar, maupun dengan kapasitas pabrik yang sedang), sehingga dapat diciptakan bentuk kerjasama
PT. Sampurna Bioenergi berencana membuat pabrik ethanol di Kabupaten Sambas, dan untuk itu, selain kebun inti yang dimiliki oleh perusahaan, juga diperlukan kebun-kebun plasma untuk memenuhi kebutuhan pabrik. Adanya pabrik ethanol di daerah ini seharusnya memotivasi petani untuk melakukan usaha tani ubi kayu karena masalah pemasaran yang merupakan masalah klasik dapat teratasi.

III. BUDIDAYA UBI KAYU
Syarat Tumbuh
Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di berbagai lingkungan agroklimat tropis, walaupun tingkat produksinya akan bervariasi menurut tingkat kesuburan dan ketersediaan air tanah. Ubi kayu merupakan tanaman yang tahan di lahan kering, sedangkan pada lahan-lahan dengan tingkat kesuburan tinggi, akan menyerap unsur hara yang banyak.
Produksi optimal akan dapat dicapai bila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, berada pada ketinggian sampai dengan 800 m dpl, tanah gembur, dan curah hujan di antara 750 - 2.500 mm/tahun dengan bulan kering sekitar 6 bulan.
Pengolahan Tanah dan Penanaman
Pengolahan tanah perlu dilakukan agar tanah menjadi gembur, sehingga perakaran/umbi akan tumbuh dengan optimal. Setelah lahan diolah dengan sempurna, bibit berupa stek batang dengan panjang kurang lebih 30 cm, ditanam dengan jarak tanam sekitar 100 x 100 cm, sehingga jumlah bibit yang harus disediakan untuk luasan 1 Ha dan untuk penyulaman serta seleksi mencapai sekitar 11.000 batang.
Waktu penanaman dilakukan pada saat kelembaban tanah dalam keadaan mencapai kapasitas lapang, yaitu biasanya pada saat musim hujan, karena selama masa fase pertumbuhan tersebut ubi kayu memerlukan air yang cukup.

Pemeliharaan Tanaman
Penyulaman dilakukan pada umur 2 minggu setelah tanam. Apabila bibit yang digunakan cukup baik, tanaman yang perlu disulam relatif sedikit, biasanya kurang dari 5%. Waktu penyulaman yang tepat, akan memberikan pertumbuhan tanaman yang seragam.
Penyiangan paling banyak dilakukan 2 kali, terutama pada saat tajuk dari tanaman belum saling menutup. Penyiangan pertama dilakukan pada umur kurang lebih sebulan setelah tanam, dan penyiangan kedua dilakukan dua bulan kemudian.
Pemupukan pertama dilakukan setelah penyiangan pertama bersama dengan mengadakan pembumbunan. Pemupukan kedua dilakukan pada waktu setelah penyiangan kedua, yang juga terus diikuti dengan pembumbunan. Dosis pemupukan adalah urea: 200 kg/ha, SP 36: 100 kg/ha dan KCl: 200 kg/ha.
Kegiatan pemeliharaan yang lain yaitu pengendalian hama dan penyakit, namun sampai dengan saat ini khusus pada tanaman ubi kayu belum terdapat serangan hama dan penyakit yang serius, sehingga dapat dikatakan tidak diperlukan pemberantasan hama dan penyakit.

Panen
Panen dilakukan dengan mencabut umbi, jika dalam mencabut dirasakan susah, maka sebelumnya tanah disekitar batang ubi kayu digali dengan cangkul, baru setelah itu batang dicabut sampai umbinya terangkat semuanya. Umbi yang telah dicabut dipisahkan dari batangnya, serta bagian tanah yang menempel dibersihkan.
Ubi kayu yang dipanen pada umur 10 - 14 bulan setelah tanam. Kurang dari 10 bulan rendemen kadar patinya rendah, begitu juga bila lebih dari 14 bulan akan mengayu dan kadar patinya menurun pula. Hasil rata-rata per ha, dengan asumsi tiap batang menghasilkan antara 2,5 - 4,0 kg, akan diperoleh hasil bersih antara 30 ton - 40 ton per ha umbi basah.

IV. ANALISIS USAHA TANI UBI KAYU

Perkiraan analisis usaha tani ubi kayu seluas 1 hektar, dengan pola monokultur dalam satu musim tanam, kurang lebih 8 bulan, dengan jarak tanam 100 x 100 cm :
A. Biaya Produksi
1. Sewa lahan per musim = Rp 1.500.000,-
2. Bibit (11.000 setek @ Rp 100,-) = Rp 1.100.000,-
3. Pupuk : Urea: 200 kg @ Rp 3.000,- = Rp 600.000,-
TSP : 100 kg @ Rp 6.000,- = Rp 600.000,-
KCl : 200 kg @ Rp 6.000,- = Rp 1.200.000,-
4. Pajak dan peralatan = Rp 500.000,-
5. Tenaga kerja
- Penyambungan (11.000 bibit x Rp 100,-) = Rp 1.100.000,-
- Pengolahan lahan (70 HOK @ Rp 30.000,-) = Rp 2.100.000,-
- Penanaman (15 HOK @ Rp. 30.000,-) = Rp 450.000,-
- Pemupukan (35 HOK @ Rp. 30.000,-) = Rp 1.050.000,-
- Penyiangan dan pembubunan (40 HOK @ Rp. 30.000,-) = Rp 1.200.000,-
- Panen dan pasca panen (40 HOK @ Rp 30.000,-) = Rp 1.200.000,-
6. Jumlah biaya produksi = Rp 12.600.000 ,-
B. Pendapatan (30.000 kg @ Rp 1.000,-) = Rp 30.000.000,-
C. Keuntungan (A – B) = Rp 17.400.000,-
D. Kelayakan usaha (Output/Input) = 2.38

V. PENUTUP

1. Usaha tani ubi kayu sangat berpotensi untuk dikembangkan, terutama di daerah Kabupaten Sambas, karena akan didirikan pabrik ethanol yang berbahan dasar ubi kayu.
2. Harus ada kerjasama antara petani dengan perusahaan pabrik ethanol, baik dalam hal tata niaga, permodalan, pembinaan dan pendampingan.
3. Kegiatan budidaya secara monokultur dan rakusnya tanaman ubi kayu akan unsur hara menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah, oleh sebab itu perlu ada upaya untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah tersebut dengan memberikan pupuk organik.

DAFTAR PUSTAKA

Agrica. 2007. Bensin Singkong. Lembaga Pers Mahasiswa AGRICA Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto, Edisi XIX/Tahun XXI September 2007

Ahit, O.P., S.E. Abit and M.B. Posas. Growth and Development of Cassava Under The Traditional and The Mukibat System of Plantin;. Annal of Tropical Research 3(3): 187-198.

Anonim. 2007. Saatnya Eksplorasi Bahan Bakar Hayati.
http://www.bppt.go.id

Bigcassava.com. 2007. Proyek Pengembangan Budi Daya Singkong Varietas Darul Hidayah sebagai Upaya Meningkatkan Tarap Kehidupan Ekonomi Petani, Sekaligus Mengintip Peluang Pengembangan Bahan Baku Biofuel.
http://www.bigcassava.com

De Bruijn, G.H. and Bambang Guritno. 1990. Farmer Experimentation With Cassava Planting in Indonesia. Departemen of Tropical Crop Science. Wageningen Agriculture University, Netherlands

Martono, B. dan Sasongko. 2007. Prospek Pengembangan Ubi Kayu sebagai Bahan
Baku Bioethanol.
http://www.diy.go.id

Sutrisno.wordpress.com. 2007. Ubi Kayu. http://sutrisno.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar